Senin, 31 Desember 2012

PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN


PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN
A.                PENGANTAR
Perubahan terjadi pada setiap masyarakat selama hidupnya pasti akan mengalami perubahan. Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang meneiahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti yang kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, tetapi ada yang berjalan cepat. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainnya. Di dalam perubahan sosial masyarakat terklasifikasi antara masyarakat statis dan dinamis. Masyarakat yang statis ialah masyarakat yang sedikit sekali mengalami perubahan dan berjalan lambat, sedangkan masyarakat dinamis ialah masyarakat yang mengalami berbagai perubahan yang cepat. Sehingga perubahan sosial ialah segala perubahan pada lembag-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu-suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.
B.    PEMBATASAN PENGERTIAN
1.     DEFINISI
Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Ada beberapa ahil yang memberikan pengertian dari perubahan sosial sebagai berikut: Menurut Kingsley davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapasitas telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Menurut Maciver, perubahan sosial ialah perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial atau sebagaian perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.[1] Gallin dan gillin mengatakan perubahan sosial sebagai suatu variasi dan cara-sara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Menurut Samuel Koening mengatakan perubahan sosial menunjuk kepada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalm pola-pola kehidupan manusia dalam kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
2.      TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Pada ahli filsafat, sejarah, ekoonomi, dan sosiologi telah mencoba untuk merumuskan untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukum-hukum perubahan sosial. Ahli berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Teori-teori dalam perubahan sosial menurut Moore, yakni sebagai berikut evolusi rektilinier yang sederhana[2] sebagai berikut: evolusi melalui tahap-tahap, evolusi yang terjadi dengan tahap kelanjutan yang tidak serasi, evolusi menurut siklus-siklus tertentu dengan kemunduran-kemunduran dengan jangka pendek, evolusi bercabang yang mewujudkan pertumbuhan dan kebhinekaan, siklus-siklus yang tidak mempunyai kecenderungan-kecenderungan, pertumbuhan logistik yang digambarkan oleh populasi, pertumbuhan logistik terbaik yang tergambar dari angka kematian, pertumbuhan eksponensial yang tergambar penemuan-penemuan baru, dan primitivisme.
C.  HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN SOSIAL DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Sebenarnya di dalam kehidupan sehari-hari acap kali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan budaya. Karena antara kedua gejala itu dapat ditemukan hubungan timbal balik sebagai sebab dan akibat. Kingssley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.[3] Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu kesenianm ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturanaturan organisasi sosial. Sebagai contoh dikemukakannnya pada logat bahasia Asia setelah terpisah dari induknya, akan tetapi perubahan tersebut mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Perubahan-perubahan tersebut lebih merupakan perubahan kebudayaan ketimbang perubahan sosial. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas, contoh perubahan-perubahan dalam model pakian dan kesenian dapat terjadi tanpa mempengaruhi lembaga-lembaga kemasyarakatan atau sistem sosial. Namun, sukar pula dibayangkan dari terjadinya perubahan sosial tanpa didahului oleh suatu perubahan kebudayaan. Lembaga kemasyarakatan seperti keluarga, perkawinan, hak milik, universitas atau negara tak akan mengalami perubahan apapun bila tidak didahului oleh suatu perubahan fundamental didalam kebudayaan. Suatu perubahan sosial didalam bidang kehidupan tertentu tidak mungkin berhenti berda pada satu titik karena perubahan dibidang lain akan segera mengikuti. Disebabkan karena struktur lembaga kemasyarakatan yang sifatnya jalin-berjalin. Apabila suatu negara mengubah undang-undang dasarnya atau bentuk pemeritahannya, perubahan yang kemudian terjadi tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga politik saja.
D.    BEBERAPA BENTUK PERBUHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN
Perubahan sosial dan kebudanyaan dapat dibedakan kedalam beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut:
1.      Perubahan lambat (evolusi) dan perubahan cepat (revolusi);
2.      Perubahan kecil dan perubahan besar;
3.      Perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unitanded change) atau perubahan yang tidak direncanakan.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin ada sumber sebab-sebab tersebut yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada yang terletak di luar. Sebab yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri, antara lain:Bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, dan terjadi pemberontakan atau revolusi di dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan sebab yang berseumber dari luar masyarakat, antara lain, sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, dan pengaruh kebudayaan masyarakat / negara lain.
F.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JALANNYA PROSES PERUBAHAN
1.                  Ada 9 faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan, antara lain kontak dengan negara lain, sistem pendidikan yang baru, sikap menghargai karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju, toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang, sistem lapisan masyarakat yang terbuka, penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat yang terbuka, orientasi ke muka, dan nilai meningkatkan taraf hidup.
2.                  Ada 9 faktor-faktor yang menghabat terjadinya suatu perubahan, antara lain kurangnya hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain,perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat, sikap masyarakat yang masih tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertatam dengan kuat atau vested interest, rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integritas kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing atau sikap yang tertutup, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, adat atau kebiasaan, dan nilai bahwa hidup ini pada hakekatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki.
G.     PROSES-PROSES PERUBAHAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN
1.      Keserasian dalam masyarakat (sosial equilibrium)
Suatu keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok berfungsi saling mengisi.
2.      Saluran-saluran dalam proses perubahan
Saluran-saluran dalam proses perubahan adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya.
3.      Organisasi
Organisasi adalah artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang sesuai dengan fungsinya masing-masing.
4.      Disorganisasi atau disintegrasi
Disorganisasi adalah proses pemudarannya norma-norma dan nilai-nilai di dalm masyarakay dikarenakan adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lembaga kemasyarakatan.
5.      Reorganisasi atau reintegrasi
Reorganisasi adalah proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai yang baru agar sesuai dengan lembaga lemasyarakatan yang mengalami perubahan.
6.      Cultural lag
Cultural lag adalah ketidakserasian dalam perubahan-perubahan unsur kemsyarakatan atau kebudayaan.
H.      ARAH PERUBAHAN (DERECTION OF CHANGE)
Perubahan bergerak menunggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi, setelah meninggalkan faktor iti mungkin perubahan bergerak kepada sesuatu bentuk yang sama sekali baru, atau mungkin pula bergerak kearah suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
I.                   MODERNISASI
Di dalam modernisasi tercakup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodem dalam artian teknologis serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri-ciri negara barat yang stabil. Syarat-syarat modernisasi, antara lain cara berpikir yang ilmiah, sistem administrasi yang baik, adanya sistem pengumpulan yang baik dan teratur, penciptaan iklim yang favorable dari masyarakat, tingkat organisasi yang tinggi, dan sentralisasi wewenang dalam pelaksasnaan social planing.


       [1]. Maciver, society; A Textbook of Sociology, (New York: Farrar and rinehart, 1937), h. 272.
       [2]. Wilbert E. Moore, op. Cit., h. 2.
       [3]. Kingsley Davis, op. Cit., hl. 622-623.

Selasa, 30 Oktober 2012

hukum pidana tentang yang dapat dikatakan bersalah dan dipidana


1.                  -Menurut Moeljatno, orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut. Dan karenanya dapat dan bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian.
-Menurut metzger, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.
- Dalam Hukum Pidana, yang dimaksud dengan kesalahan adalah suatu pertanggungjawaban menurut Hukum Pidana (verantwoorselijk heid volgens het straftrecht).[1] Jadi suatu perbuatan bisa dianggap kesalahan jika dapat dipermasalahkannya seseorang di atas perbuatan (melawan hukum / wedwrrechtelijk) yang dilakukannnya, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan pdana (verwijbaarheid).
Kesimpulannya kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedimikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.
2.                  Unsur-unsur atau syarat-syarat kesalahan seseorang dapat dipertanggungjawabkan bila ada kesalahan dalam arti materiil / verwijbaarheid yang terdiri dari tiga unsur-unsur sebagai berikut:
1)         Toerekeningsvatbaarheid dari pembuat,
2)         Suatu sikap psychis pembuat berhubungan dengan kelakuannya, yakni:
a. Kelakuan disengajai – anasir sengaja; atau
b. Kelakuan adalah sikap suatu kurang berhati-hati atau lalai – analisir kealpaan (culpa, bahasa belandanya: schuld in enge zin).
3)         Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat – anasir toerekenbaarheid.[2]
3.                  Istilah-istilah dan arti dari kesalahan tersebut sebagai berikut:
1)         Kesalahan dalam arti seluas-luasnya ialah pertanggungjawaban dalam arti Hukum Pidana;
2)         Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuld) dapat berupa:
a. Dolus / opezt / sengaja;
b. Culpa / lalai / alpa.
3)         Kesalahan dalam arti sempit ialah alpa / culpa.
4.                  Unsur-unsur dari kesalahan tersebut ialah sebagai berikut:
1)         Toerekeningsvatbaarheid dari pembuat,
2)         Suatu sikap psychis pembuat berhubungan dengan kelakuannya, yakni:
a. Kelakuan disengajai – anasir sengaja; atau
b. Kelakuan adalah sikap suatu kurang berhati-hati atau lalai – analisir kealpaan (culpa, bahasa belandanya: schuld in enge zin).
3.          Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat – anasir toerekenbaarheid.[3]
5.                  Ada dua pendapat sarjana mengenai perngertian dari kemapuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) sebagai berikut:
- Menurut Van Hambel yang dimaksud dengan kemapuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ialah sebagai berikut:
1)         Mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri (dia om de feitelijke strekking der eigen handelingen te begrijpheid) ;
2)         Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat (die om het maatschappelijk ongeoorloofde van die handelingen tw besseffen);
3)         Mampu untuk menentukan kehendak berbuat (die om ten aanzien van die handelingen del wil te bepalen).
-       Menurut POMPE yang dimaksud dengan kemapuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ialah sebagai berikut:
a.          Suatu kemapuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai fikirannya dan menentukan kehendaknya;
b.          Dan oleh sebab itu, pembuat mengeti makna dan akibat dari kelakuannya;
c.          Dan oleh sebab itu pula, pembuat dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatannya (tentang makna dan akibat kelakuannya).[4]
6.                  Menurut Memorie Van Toelichting (MTV) seseorang dikatakan tidak mampu bertanggungjawab ialah sebagai berikut:
1)         Tidak ada kebebasan untuk memilih apakah ia akan melakukan / tidak melakukan suatu perbuatan (dipaksa melakukan perbuatan baik dilarang, atau diperintah);
2)         Berada didalam keadaan dimana ia tidak menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan ia mengerti akibat dari perbuatannya (karena gangguan kejiwaan).
7.                  Bila ada keragu-raguan dalam menentukan adanya kemamuan bertanggungjawab (in dubio pro reo) pada umumnya seorang terdakwa dapat atau tidak dapat dihukum dan harus diputuskan secara menuntungkan terdakwa. Karena para hakim pidana terdiri dari seseorang manusia  belaka, yang hanya dapat menghukum orang lain apabila tiada keragu-raguan tentang kesalahan terdakwa.[5]
8.                  Kesengajaan menurut Memorie Van Toelichting (MTV) ialah “willens en watens” yang artinya adalah “menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya, jika kesengajkaan itu bersifat tujuan (oogmerk) maka dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief gevolg).[6]
9.                  Untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dengan cara melihat apakah si pelaku dalam melakukan kesalahan tersebut si pelaku mengetahui (weten) dan menghendaki (willen) dari perbuatan – perbuatan yang diperbuatnya tersebut yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan bahwa  suatu  perbuatan yang dilakukan seseorang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
10.              Untuk adanya kesengajaan tersebut si pelaku tidak harus mengetahui bahwa perbuatannya tersebut dilarang. Karena  dengan kita melihat dari niat dasar si pelaku untuk berkehendak dalam melakukan perbuatannya, karena si pelaku memiliki niat yang mengandung kesengajaan di dalamnya.
11.              Perumusan kesengajaan yang terdapat dalam KUHP biasa dinyatakan dengan jelas, tetapi dapat dipersamakan dengan kesengajaan. Kata-kata seperti “dengan sengaja”, “dengan paksaan”, “dengan kekerasan”, ”dengan direncanakan”, dan “sedang dikehendakinya”. Unsur-unsur kesengajaan yang tercantum dalam KUHP yaitu: pasal 338 , 340,341,342 346, 347 ayat 1, 348 ayat 1, 353 ayat 1, 354 ayat 1, dan 358
12.              Ada 3 jenis dari kesengajaan yang dikenal dalam Hukum Pidana, sebagai berikut:
1)                  Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) / sebagai maksud( kesengajaan dalam arti sempit)
Kesengajaan yang bersifat ialah akibatnya memang dikehendaki, atau sebagai tujuan dari pelaku.
2)                  Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian (Opezt bij Zeker heids Bewuszijn).
Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian ialah si pelaku menyadari bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain, tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain, demi tercapainya akibat utama.
3)                  Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan (Opezt bij Mogelijkheids Bewustzijn)
Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan ialah pelaku menyadari bahwa perbuatannya yanh dilakukannya mungkin akan membawa akibat lain selain akibat utama.
13.              Kesengajaan menurut Memorie Van Toelichting (MTV) ialah “willens en watens” yang artinya adalah “menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya, jika kesengajaan itu bersifat tujuan (oogmerk) maka dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief gevolg).[7]
14.              Untuk menempatkan suatu kealpaan pada seseorang adalah dengan cara melihat keadaan si pelaku apakah si pelaku tersebut sesorang yang mengalami sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti). Kurang hati-hati, kurang teliti seharusnya tidak boleh terjadi, karena si pelaku tidak menghendaki akibat (akibat yang terjadi karena kekurangan hati-hatu, kurang teliti tersebut yang pada intinya seharusnya tahu, tetapi tidak tahu, atau mengetahui tetapi tidak cukup mengetahui.
15.              Ada 2 bentuk dari kealapaan yang dikenal dalam Hukum Pidana sebagai berikut:
1)             Kealpaan yang disadari / diinsyafi
Kealpaan yang disadari / diinsyafi ialah bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang sudah dapat dibayangkan akibatnya sadar akibat buruk akan terjadi tetapi ia tetap melakukannya.
2)             Kealpaan yang tidak disadari
Kealpaan yang tidak disadari ialah bila si pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya yang seharusnya terlebih dahulu harus dibayangkan.
Kedua bentuk dari kealpaan tersebut tetap dapat dipidana.



       [1]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 286.
       [2]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 288-289.
       [3]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 288-289.
       [4] . M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 293
       [5] .M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 277.
       [6]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 291.
       [7]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 291.