Selasa, 30 Oktober 2012

hukum pidana tentang yang dapat dikatakan bersalah dan dipidana


1.                  -Menurut Moeljatno, orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu mengapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat, padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut. Dan karenanya dapat dan bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian.
-Menurut metzger, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.
- Dalam Hukum Pidana, yang dimaksud dengan kesalahan adalah suatu pertanggungjawaban menurut Hukum Pidana (verantwoorselijk heid volgens het straftrecht).[1] Jadi suatu perbuatan bisa dianggap kesalahan jika dapat dipermasalahkannya seseorang di atas perbuatan (melawan hukum / wedwrrechtelijk) yang dilakukannnya, sehingga ia dapat dipertanggungjawabkan pdana (verwijbaarheid).
Kesimpulannya kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedimikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.
2.                  Unsur-unsur atau syarat-syarat kesalahan seseorang dapat dipertanggungjawabkan bila ada kesalahan dalam arti materiil / verwijbaarheid yang terdiri dari tiga unsur-unsur sebagai berikut:
1)         Toerekeningsvatbaarheid dari pembuat,
2)         Suatu sikap psychis pembuat berhubungan dengan kelakuannya, yakni:
a. Kelakuan disengajai – anasir sengaja; atau
b. Kelakuan adalah sikap suatu kurang berhati-hati atau lalai – analisir kealpaan (culpa, bahasa belandanya: schuld in enge zin).
3)         Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat – anasir toerekenbaarheid.[2]
3.                  Istilah-istilah dan arti dari kesalahan tersebut sebagai berikut:
1)         Kesalahan dalam arti seluas-luasnya ialah pertanggungjawaban dalam arti Hukum Pidana;
2)         Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuld) dapat berupa:
a. Dolus / opezt / sengaja;
b. Culpa / lalai / alpa.
3)         Kesalahan dalam arti sempit ialah alpa / culpa.
4.                  Unsur-unsur dari kesalahan tersebut ialah sebagai berikut:
1)         Toerekeningsvatbaarheid dari pembuat,
2)         Suatu sikap psychis pembuat berhubungan dengan kelakuannya, yakni:
a. Kelakuan disengajai – anasir sengaja; atau
b. Kelakuan adalah sikap suatu kurang berhati-hati atau lalai – analisir kealpaan (culpa, bahasa belandanya: schuld in enge zin).
3.          Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat – anasir toerekenbaarheid.[3]
5.                  Ada dua pendapat sarjana mengenai perngertian dari kemapuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) sebagai berikut:
- Menurut Van Hambel yang dimaksud dengan kemapuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ialah sebagai berikut:
1)         Mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri (dia om de feitelijke strekking der eigen handelingen te begrijpheid) ;
2)         Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat (die om het maatschappelijk ongeoorloofde van die handelingen tw besseffen);
3)         Mampu untuk menentukan kehendak berbuat (die om ten aanzien van die handelingen del wil te bepalen).
-       Menurut POMPE yang dimaksud dengan kemapuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ialah sebagai berikut:
a.          Suatu kemapuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai fikirannya dan menentukan kehendaknya;
b.          Dan oleh sebab itu, pembuat mengeti makna dan akibat dari kelakuannya;
c.          Dan oleh sebab itu pula, pembuat dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatannya (tentang makna dan akibat kelakuannya).[4]
6.                  Menurut Memorie Van Toelichting (MTV) seseorang dikatakan tidak mampu bertanggungjawab ialah sebagai berikut:
1)         Tidak ada kebebasan untuk memilih apakah ia akan melakukan / tidak melakukan suatu perbuatan (dipaksa melakukan perbuatan baik dilarang, atau diperintah);
2)         Berada didalam keadaan dimana ia tidak menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum, dan ia mengerti akibat dari perbuatannya (karena gangguan kejiwaan).
7.                  Bila ada keragu-raguan dalam menentukan adanya kemamuan bertanggungjawab (in dubio pro reo) pada umumnya seorang terdakwa dapat atau tidak dapat dihukum dan harus diputuskan secara menuntungkan terdakwa. Karena para hakim pidana terdiri dari seseorang manusia  belaka, yang hanya dapat menghukum orang lain apabila tiada keragu-raguan tentang kesalahan terdakwa.[5]
8.                  Kesengajaan menurut Memorie Van Toelichting (MTV) ialah “willens en watens” yang artinya adalah “menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya, jika kesengajkaan itu bersifat tujuan (oogmerk) maka dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief gevolg).[6]
9.                  Untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dengan cara melihat apakah si pelaku dalam melakukan kesalahan tersebut si pelaku mengetahui (weten) dan menghendaki (willen) dari perbuatan – perbuatan yang diperbuatnya tersebut yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan bahwa  suatu  perbuatan yang dilakukan seseorang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
10.              Untuk adanya kesengajaan tersebut si pelaku tidak harus mengetahui bahwa perbuatannya tersebut dilarang. Karena  dengan kita melihat dari niat dasar si pelaku untuk berkehendak dalam melakukan perbuatannya, karena si pelaku memiliki niat yang mengandung kesengajaan di dalamnya.
11.              Perumusan kesengajaan yang terdapat dalam KUHP biasa dinyatakan dengan jelas, tetapi dapat dipersamakan dengan kesengajaan. Kata-kata seperti “dengan sengaja”, “dengan paksaan”, “dengan kekerasan”, ”dengan direncanakan”, dan “sedang dikehendakinya”. Unsur-unsur kesengajaan yang tercantum dalam KUHP yaitu: pasal 338 , 340,341,342 346, 347 ayat 1, 348 ayat 1, 353 ayat 1, 354 ayat 1, dan 358
12.              Ada 3 jenis dari kesengajaan yang dikenal dalam Hukum Pidana, sebagai berikut:
1)                  Kesengajaan yang bersifat tujuan (oogmerk) / sebagai maksud( kesengajaan dalam arti sempit)
Kesengajaan yang bersifat ialah akibatnya memang dikehendaki, atau sebagai tujuan dari pelaku.
2)                  Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian (Opezt bij Zeker heids Bewuszijn).
Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian ialah si pelaku menyadari bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain, tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain, demi tercapainya akibat utama.
3)                  Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan (Opezt bij Mogelijkheids Bewustzijn)
Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan ialah pelaku menyadari bahwa perbuatannya yanh dilakukannya mungkin akan membawa akibat lain selain akibat utama.
13.              Kesengajaan menurut Memorie Van Toelichting (MTV) ialah “willens en watens” yang artinya adalah “menghendaki dan menginsyafi atau mengetahui” atau secara agak lengkap seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki perbuatannya itu dan harus menginsyafi atau mengetahui akibat yang mungkin akan terjadi karena perbuatannya, jika kesengajaan itu bersifat tujuan (oogmerk) maka dapat dikatakan si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief gevolg).[7]
14.              Untuk menempatkan suatu kealpaan pada seseorang adalah dengan cara melihat keadaan si pelaku apakah si pelaku tersebut sesorang yang mengalami sifat kekurangan (kurang hati-hati, kurang teliti). Kurang hati-hati, kurang teliti seharusnya tidak boleh terjadi, karena si pelaku tidak menghendaki akibat (akibat yang terjadi karena kekurangan hati-hatu, kurang teliti tersebut yang pada intinya seharusnya tahu, tetapi tidak tahu, atau mengetahui tetapi tidak cukup mengetahui.
15.              Ada 2 bentuk dari kealapaan yang dikenal dalam Hukum Pidana sebagai berikut:
1)             Kealpaan yang disadari / diinsyafi
Kealpaan yang disadari / diinsyafi ialah bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang sudah dapat dibayangkan akibatnya sadar akibat buruk akan terjadi tetapi ia tetap melakukannya.
2)             Kealpaan yang tidak disadari
Kealpaan yang tidak disadari ialah bila si pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya yang seharusnya terlebih dahulu harus dibayangkan.
Kedua bentuk dari kealpaan tersebut tetap dapat dipidana.



       [1]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 286.
       [2]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 288-289.
       [3]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 288-289.
       [4] . M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 293
       [5] .M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 277.
       [6]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 291.
       [7]. M. Drs. E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana 1, Pustaka Tinta Mas, Bandung, h. 291.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar